profesi guru 2

                Pada masa jabatan pak Sadjar di SMAN 1 Lamongan, saya banyak mendapat kesempatan  mengembangkan kemampuan. Kalau di depan  saya sampaikan peran saya bersama teman-teman guru merintis  perpustakaan, saya pun berperan merintis adanya BP. Hingga tahun lulusan keempat, tak seorangpun guru BP di SMAN 1 Lamongan. Karena tugas saya sebagai wakasek urusan kurikulum sangat memerlukan peran BP, maka saya memberanikan diri menangani ke-BP-an. Modalnya hanya pengetahuan  saya tentang  BP yang saya peroleh di PGAN Bojonegoro, dan kegemaran saya membaca buku dan majalah psikhologi.
                Karena  menangani BP itu saya sempat mengikuti beberapa penataran guru BP. Di antaranya, Penataran Implementasi Kurikulum BP, dan juga Penataran Materi Bimbingan Karier.  Di bidang ke-BP-an ini saya pernah menjadi penatar Bimbingan Karier untuk guru BP SMP dan SMA se-Kabupaten Lamongan. Pesertanya waktu itu cukup banyak, bahka  tidak sedikit mereka adalah kepala sekolah. Dengan menangani BP ini pula saya boleh dibilang sebagai Ketua Musyawarah Guru Bimbingan dan Penyuluhan se-Kabupaten  Lamongan yang pertama, dibantu  pak Abdul Wahib Suja’I, sekarang Kepala SMPN 1 Babat, dan  seorang  wanita, guru BP  SMAN 2 ( dulu SMPP) Lamongan. Saya lupa namanya. Ingat saya, beliau bersuamikan seorang pegawai DLLAJR, dan terakhir beliau mengikuti kepindahan suaminya.
                Saya baru melepas tugas saya sebagai BP di SMAN 1 Lamongan setelah hadir seorang guru BP yang  bernama Muslimatul Ullah. Guru BP ini adalah alumni pertama SMAN 1 Lamongan. Tentang beliau, ada kenangan menarik yang saya masih ingat.
                Muslimatul Ullah, adalah lulusan pertama SMAN 1 Lamongan. Waktu “beliau” kelas III IPS, saya getol sekali mengupayakan beasiswa bagi siswa kurang mampu. Di Lamongan waktu itu  sekolah yang mau mengusulkan beasiswa hanya ada dua lembaga, yaitu SMAN 1 Lamongan dan SMA Empat Lima. Tahun itu saya mengusulkan kurang lebih 12 siswa. Untuk mengurus itu, siswa saya minta mengusahakan Surat Keterangan Keluarga Tidak Mampu dari kepala  desa.  Si “Ullah”, begitu biasa saya panggil, sampai hari terakhir pengumpulan surat keterangan dia tak mengumpulkannya. Dia mengatakan, sulit mencari  pak kades.
                Saya tahu, Ullah memang akan kesulitan memperoleh surat keterangan itu. Masalahnya, keluarganya  tidak termasuk  “somah kuning”. Istilah untuk keluarga yang tidak menjadi anggota Golkar. Karena itu, malam hari sebelum berkas usulan saya kirimkan ke Kantor Wilayah Depdikbud Propinsi Jatim, saya harus mengolah berkas tersebut. Saat itu dorongan saya untuk membantu murid saya yang pendiam itu timbul. Karena itu saya lakukan kecurangan.  Salah satu Surat Keterangan milik siswa kelas II kebetulan rangkap. Ingat saya itu atas nama Tri Retno Sukeni, yang pernah menjadi penyaji TVRI Surabaya.  Satu lembar surat saya tip ex nama siswa, dan saya tindas dengan mesin ketik dengan nama “Muslimatul Ullah.  Dengan  surat keterangan palsu ini, saya kirimkan berkas usulan keesokan harinya.
                Beberapa bulan kemudian, bea siswa itu turun melalui BRI Lamongan. Si “Ullah” sudah tidak  menjadi siswa, karena sudah lulus, dan  siap melanjutkan ke Perguruan tinggi. “Ullah” kebetulan diterima di IKIP Surabaya melalui PMDK. Maka bersama kelas II yang sudah duduk di kelas III, dan kelas III yag sudah keluar, saya undang dan saya giring  mereka ke BRI untuk mencairkan uangnya. Saya tidak tahu ekspresi Ullah waktu menerima uang, tetapi  saya masih ingat bagaimana ibunya, bibinya, ayahnya menyampaikan terimakasih kepada saya.  Setiap orang yang  yang kenal saya dimintai tolong menyampaikan  ucapan terimakasihnya. Dan …… sampai  beliau mau menikah pun saya diminta mengatur acara lamarannya.
                Saya lupa, tahun berapa Pak Sadjar Muntaha, BA pensiun. Tapi aku masih ingat penggantinya adalah Pak  Drs. Muhammad Akasah. Saat itu saya masih dipercaya menjadi  wakasek urusan kurikulum. Jabatan itu  saya lakoni sampai pak Akasah pun pensiun, kira-kira tahun 1997, dan saya baru diberhentikan sebagai wakasek setahun setelah kepala SMAN 1 Lamongan dijabat oleh pak Tumiran Wiratno.
                Oleh pak Tumiran, jabatan saya sebagai wakasek diserahkan kepada Pak Kaulan, yang sekarang menjadi pengawas. Sedangkan Wakasek lainnya, pak Samudji, wakasek kesiswaan, digantikan oleh pak Kusnan yang sekarang menjadi  kepala SMAN 2 Lamongan. Wakasek Urusan Hubungan Masyarakat dari  bu Anik Wijayatmi diserahkan kepada pak Sadji, dan urusan sarana dan Prasarana dari pak Subiyanto Priono kepada bu Faisatul Iffah, sekarang masih menjabat sebagai kepala SMP.
                Lepas dari jabatan wakasek, saya diserahi merintis Komputer masuk sekolah. Maka pada tahun kedua jabatan Kepala Sekolah Pak Tumiran,   untuk pertama kalinya saya mengenal  computer, barang canggih saat itu. Karena sekolah belum mampu membeli computer, maka dilakukan kerjasama dengan INNAS Surabaya. Program computer saat itu masih menggunakan disket, dan masih hitam putih.
                Berikutnya, tugasku sebagai guru  tetap berjalan seperti biasa. Akhirnya pak Tumiran diganti oleh Pak H. Suhud, sekarang pengawas. Pada masa kepemimpinan pak Suhud ini, saya diminta menghidupkan kembali perpustakaan SMAN 1 Lamongan. Buku-bukunya yang mestinya sudah cukup banyak tidak  berkontribusi terhadap  kemajuan belajar siswa. Bahkan banyak buku yang hilang tak tentu rimbanya.
                Sesuai amanat pak Suhud, saya mencoba melakukan inventarisasi buku  yang ada. Hasilnya, memang betul,  tidak sedikit yang hilang. Karena itu saya mohon  kepada kepala sekolah untuk menganggarkan pengadaan buku koleksi perpustakaan. Dan, pak Suhud sungguh tidak mau kepalang basah. Setiap ada sisa anggaran, daripada hangus, kata beliau, selalu dibelikan buku.
                Untuk menarik minat siswa masuk perpustakaan,  saya lakukan banyak cara. Di antaranya, selalu kubuat synopsis buku baru, dan dengan gambar sampul depan saya pampangkan di pengumuman. Agar siswa mau baca,  setiap akhir semester saya umumkan 3 siswa berpredikat pembaca terbanyak. Di samping itu juga saya adakan lomba menyusun synopsis, yang juara-juaranya diberi hadiah. Hasilnya cukup baik. 
Sampai jabatan kepala sekolah digantikan oleh pak Madhelan, saya masih mengelola perpustakaan.  Pada masa kepemimpina pak Madhelah,  perpustakaan diberi anggaran sekali setahun. Itu pun dari uang sumbangan siswa kelas III yang akan meninggalkan sekolah  karena lulus. Minat siswa  membaca dan meminjam koleksi buku perpustakaan yang makin tinggi, menuntut selalu tersedianya buku-buku dengan judul terbaru. Untuk mengupayakan ini, saya membelanjakan  sendiri anggaran perpustakaan. Teknisnya, saya hanya membeli   satu judul buku dalam jumlah terbatas, misalnya lima eksemplar.  Di samping itu, buku yang saya beli saya usahakan  yang judulnya menarik, misalnya sedang ada sinetronnya di TV. Salah satu contoh, di TV sedang tayang sinetron berjudul “Pernikahan Dini”. Maka buku yag saya beli judulnya  yang sama atau serupa, meskipun isinya sangat bertolak belakang, misalnya “Indahnya Pernikahan Dini”.  Buku ini bukan novel, tetapi pengetahuan agama Islam.
 Tentang pembelian setiap judul hanya maksimal lima eksemplar, saya gunakan untuk menarik dana, sehingga perpustakaan ada pemasukan keuangan tiap hari. Dengan judul menarik dan jumlah buku terbatas, maka peminat akan berebut. Karena itu peminjam buku seperti ini hanya saya beri masa pinjam  seminggu. Jika terlambat kembali, maka saya kenakan denda harian. Anehnya, peminjam justru rela didenda. Dengan mem bayar denda, buku itu bisa langsung dialihtangankan ke siswa lain yang berminat, tanpa harus indent di perpustakaan. Dengan uang denda itulah perpustakaan dapat membeli buku baru setiap bulan. Terakhir, karena denda itu pula beberapa oknum guru  mencurigai saya sehingga melapor kepada kepala sekolah. Karena saya selalu melaporkan keuangan perpustakaan kepada kepala sekolah, maka kepala sekolah pun tetap mengijinkan strategi yang saya lakukan. Saya baru  berhenti mengelola perpustakaan setelah bu Hatijani, pengganti Pak Madhelan,  meminta pemasukan keuangan perpustakaan diserahkan ke sekolah, dan  kemudian saya dibebaskantugaskan karena “konon”  akan diangkat sebagai kepala sekolah.
 Semasa menjadi guru di SMAN 1 lamongan, bukan hanya menjabat wakasek, BP, dan kepala perpuskaan yang saya jalani. Saya pun cukup lama diserahi tugas menjaga ketertiban sekolah. Hasilnya, cukup menyakitkan. Siswa-siswa angkatan tahun 80-an dan 90-an mengenal saya sebagai guru yang keras. Saya pun memperoleh julukan “the killer”, “Mata Malaikat”, “PJR”, dan sebagainya. Bahkan dengan tugas sebagai kordinator ketertiban, saya pernah dipukul dengan helm dari belakang oleh siswa. Karena itu, sejak menjadi kepala sekolah, SMKN 1  Sarirejo dan SMKN 2  Lamongan, tidak sekalipun saya mengangkat guru sebagai kordinator ketertiban sekolah. Ketika pertama kali menjabat di SMKN 2 lamongan,  empat orang guru yang oleh kepala sekolah yang saya gantikan diserahi tugas ketertiban, langsung saya hapuskan, dan beliau-beliau saya serahi mengelola bimbingan belajar tambahan bagi kelas XII. Dalam pikiran saya, ketertiban sekolah itu menjadi tugas semua guru dan semua warga sekolah. Saya tidak ingin ada guru yang dicederai murid, dan saya juga tidak ingin guru ditakuti murid.

(ikuti edisi berikutnya, Tentang Aku III….)

Komentar

  1. Selamat ketemu kembali dengan pak Muhaiman. Ingat dengan saya kan.
    Saya pernah ngajar di SMA Negeri Lamongan, bersama dengan pak Samudji, pak Muhaiman, dan teman-teman lain.

    Salam dari Sudjono

    BalasHapus

Posting Komentar