Profesi Guru

TENTANG AKU
            Aku  seorang guru. Dilahirkan di Tuban tanggal 1 September 1958.  Beristri seorang yang sangat cantik dan setia, dan sangat pinter mendidik anak-anaknya.
            Tentang  profesi guruku, sudah saya mulai sejak  usiaku belasan tahun. Tepatnya ketika saya masih menjadi pelajar  PGAN 6 tahun Bojonegoro kelas IV. Ceritanya, ayahku juga seorang guru. Di  sekolah ayahku berdinas, hanya ayahku sendiri guru dari enam kelas . Pada saat  saya masuk siang, atau kebetulan saya libur sekolah, saya ikut membantu ayah mengajar. Bukan saya saja. Bibiku juga ikut membantu mengajar.
Saat kuliah di IKIP Surabaya, untuk menopang kebutuhan biaya kuliah saya juga “nyambi” mengajar di  beberapa sekolah swasta. Ada  tiga  sekolah  tempat  saya mengajar. SMP Maarif  XIX  Kedurus, SMP Al-Islam Sepanjang, dan  SMP Budi Darma Pulo Wonokromo. Pada lepas magrib, meskipun seminggu hanya  dua kali, saya juga diminta mengajar privat membaca Al-qur’an. Saya masih  ingat, keluarga yang putra-putrinya saya  ajar mengaji waktu itu adalah Bapak  Bambang Sidharta, bendahara Kota Madya Surabaya yang rumahnya di Karah. Itu tahun 1978-1979.
Saya juga kadang-kadang menulis dan ikut-ikutan jadi jurnalis di Koran Surabaya, atau sekali tempo “bikin” profil  selebritis dan mengirimkan fotonya ke Majalah  hiburan. Hasilnya lumayan besar, terutama kalau foto jepretanku dimuat majalah Jakarta. Saat itu satu bulan saya bisa dapat  duit sekitar Rp 120.000,- Jumlah yang tidak mungkin diperoleh pegawai negeri golongan III saat itu, kecuali dengan korupsi.
Tahun 1980 saya menamatkan program Sarjana Muda  dan D3 Bahasa dan Sastra Indonesia. Program D3  (angkatan pertama) saya ikuti karena menjanjikan  lulusannya langsung diangkat sebagai guru SMA dengan pangkat setingkat lebih tinggi dari  Sarjana Muda.  Tawaran itu menggiurkan saya, karena apalagi yang harus saya kejar sebagai anak dari keluarga kurang  mampu?  Tentu segera dapat pekerjaan tetap, meskipun saat itu tawaran yang diberikan adalah  menjadi guru  SMA di wilayah Kalimantan Barat dan Nusa Tenggara Barat. Bagi saya waktu itu, dimana saja di wilayah Indonesia tidak ada masalah. Bukankah lagu nasional kita menyebutkan wilayah Indonesia “Sabang sampai Merauke?”
Setelah melalui beberapa tahapan, maka sampailah saat penempatan. Dibekali Surat Tugas dari Kepada Kantor Depdikbud Propinsi Jawa Timur saya ditempatkan di SMA Negeri Lamongan. Sungguh di luar dugaan saya. Tempat yang tak jauh dari rumah tinggal keluarga saya di Bojonegoro, dan tak jauh juga dari istriku di Tuban. ( Oh, ya.. sebelum tamat kuliah saya sudah berani nikah).
Bulan Oktober 1980, saya membawa surat tugas menghadap kepala Sekolah. Ternyata SMA Lamongan saat itu baru tahun pertama, dan menjadi filial SMPP Lamongan.  Jadi, saya termasuk  guru pertama di SMA Lamongan bersama dengan enam orang  lainnya. Teman-teman seangkatan saya di SMA Lamongan itu  adalah Edy Setyowati, SP (masih hidup, pensiun dini karena penyakit ginjal, Anik Wijayatmi ( almarhum), K.A. Ajar Suhatmo(pensiun), Mukaromah (masih di SMA 1 Lamongan), Sri Mukti rahayu ( sekarang di SMKN 1 Buduran Sidoarjo), dan Adi Priono (guru Olahraga, kabara terakhir di Malang dan pensiun dini juga karena sakit).
Tentang SMAN Lamongan waktu itu masih menempati gedung SDN Jetis I dan SDN Jetis II Lamongan. PBM-nya berlangsung siang hari dengan  5 rombongan belajar. Dua kelas IPA, dan tiga kelas IPS. Tahun kedua, menempati SMPN 1 Lamongan  dengan tambahan rombel empat kelas, dan tahun ketiga  menempati SMPN2 Lamongan dan  lima kelas (klas III) sudah menempati gedung sendiri di Jalan Veteran  sekarang.
Bulan-bulan pertama sebagai guru SMAN Lamongan ternyata cukup menyulitkan perekonomian saya. Betapa tidak, waktu kuliah saya bisa memperoleh uang lumayan, setelah ditugaskan di Lamongan ternyata sebulan saya hanya dibayar Rp 10.000,-. Uang sejumlah itu, 50% untuk sewa kamar kos, sisanya hanya cukup untuk beli bensin 15 liter. Apalagi saya harus menghidupi istri saya yang juga sedang hamil anak pertama. Honor sepuluh ribu rupiah itu pun belum tentu saya terima utuh. Banyak potongan-potongan  yang menjadikan penerimaan  berkurang. Pada saat seperti itu, menulis di media menjadi  harapan menambah penghasilan.  Untungnya lagi tak berselang lama banyak sekolah swasta yang memintaku membantu mengajar. Hasilnya cukup  lumayan. Bisa untuk kontrak rumah, dan saya berani memboyong istri ke Lamongan.
Januari 1981, SMAN Lamongan lepas dri SMPPN Lamongan. SMAN lamongan punya kepala sekolah pertama. Namanya Bapak Sadjar Muntaha, BA. Sebelumnya adalah guru di SMAN 5 Surabaya.
( ikuti lanjutannya….. )



Komentar

Posting Komentar