Sukses Dari Bawah

Banyak orang sukses dari meretas karier dari bawah. Aku pun sukses dalam kehidupan keluarga juga merasal dari strata bawah. Tulisan saya ini bukanlah keluh kesah, atau pamer masa sulit. Tulisan ini hanya cermin, sesuangguhnya kewajiban kita hanya berjuang, berjuang memperoleh kehidupan yang lebih baik dari orang tua kita, berjuang memperoleh  kebahagiaan. Siapa pun membaca tulisan ini, jadikanlah pelajaran. masih banyak orang lain yang lebih susah dari kita, dari anda, dari saya, tetapi mereka lebih sukses.




1. Masa Kecilku
    Aku anak pertama dari 8 bersaudara. Ayahku alumni pesantren salafiyah, tidak dibekali ilmu atau skill untuk memperoleh pekerjaan sebagai sumber penghidupan.
    Sampai tahun 1960-an, aku anak yang masih suka telanjang dada dengan celana pendek kolor, terbuat dari kain drill. Tahun-tahun itu memang tidak banyak jenis kain, dan kalau pun ada rakyat seperti keluargaku tidak akan mampu membeli. Kain sarung yang kupakai solat pun bukan sarung anak-anak, tetapi sarung bapak yang dilipat. bayangkan, kalau tidak diikat akan melorot, kalau tidak melorot tampak di perut membuncit karena lipatan sarung.
      Untuk kepentingan makan, jangan tanya beras. Bisa makan nasi gablek (Sego pithi , Jw) sehari dua kali sudah bagus. Lauknya pun asal asin, atau kadang-kadang terasa gurih karena dicampun minyak gooreng bekas. Kami sekeluarga bisa makan nasi beras kalau ayahku pulang kenduri. Nasi "berkat" itu akan diletakkan di tengah-tengah, sedangkan aku dan adik-adik mengelilinginya untuk makan. Kadang aku hanya makan  dua suap, karena jika kuteruskan adikku tak akan kebagian. Maklum, tangan-tangan kecil adikku tak akan mampu menggenggam nasi dalam jumlah banyak.
     Tentang makan ini ada cerita menarik dari ibuku. Konon waktu aku baru punya seorang adik, usiaku sekitar 2,5 tahun, tiba-tiba malam hari aku menangis minta makan. Ibuku bingung, karena sediaan bahan makanan tidak ada.  Ibuku harus membalik-belik wadah beras. Hasilnya ada rontokan beras sekitar dua sendok. Oleh ibuku, beras dua sendok itupun ditanak dengan memperbanyak air. Hasilnya jadilah nasi "liwet" setengah bubur. Dengan segumpal garam, nasi itu kemudian disuapkan kepadaku. Tapi, masih kata ibu, aku tetap tidak mau makan, karena tidak ada lauknya. Ibuku tidak kurang akal. Di penggorengan masih ada sisa minyak kelapa bekas menggoreng ikan asin. Diambilnya sepucuk sendok, kemudian diadukkan pada nasi. Ternyata aku ttap menangis, karena tidak melihat ada ikannya. Ibuku pun mengambil sebungkul bawang merah, dan dibakarnya. Setelah hitam, ditaruhlah di piring nasi itu.  Bawang itu dicuil kecil, dan disuapkan ke mulutku. Hasilnya, aku melahapnya, dan kemudian tertidur.
    Kesulitan masa kecil dari keluarga miskin tidak hanya dialami keluargaku. Akan tetapi, kesulitan itu telah menempa aku menjadi orang yang tidak mudah menyerah, dan selalu berusaha bekerja keras. Aku masih ingat, setiap hari minggu. Aku "anak usia klas 3 SD saat itu" bersama dengan teman-teman sedesa harus berjalan kaki 3 KM  pergi dan pulang. Tujuannya ke Bengawan Solo. Masalahnya, pada musim kemarau desaku akan kesulitan air. Kalau untuk mandi, saat itu kami hanya butuh mandi sekali sehari. Pagi bangun tidur cukup basuh muka, dan kemudian berangkat ke sekolah. Air yang ada dari sumber di desa hanya untuk minum dan masak. Untuk cuci pakaian seminggu sekali kami ke Bengawan Solo.
     Maka, tiap hari Minggu, pagi-pagi kami sudah berangkat ke Bengawan Solo. masing-masing membawa pakaian kotor sekeluarga yang dibungkus sarung, kain panjang (jarik). Sesampai di bengawan Solo yang dulu jika musim kemarau airnya jernih kemilau pakaian kotor itu kami cuci. Tidak ada sabun. Tiap pakaian kotor hanya dipukul-pukulkan pada batu besar yang ada di tepi bengawan. Untuk menjemurnya, cukup di kait-kaitkan pada rumpun bambu, atau pohon apa saja yang tumbuh di tepi bengawan.
     Nah, sambil menunggu jemuran kering, kami kembali masuk ke dalam air bengawan. dengan bekal "tompo", bakul dari anyaman bambu, kami-kaki kami  mengorek-korek dasar bengawan. Dengan kepala di permukaan air, jari-jari kami menjepit  kerang-kerang bengawan solo. Hasilnya, satu bakul penuh kami peroleh kerang, yang kemudian sesampai di rumah dijadikan lauk-pauk makan sehari. Itulah satu-satunya makan bergizi tinggi saat itu yang dapat kami nikmati seminggu sekali.
( akan berlanjut ....)

Komentar