Pagi tadi, 10 Desember 2013, saya baca koran tentang PBNU yang melauncing buku putih sekitar PKI tahun 1948 dan 1965. Dari membaca berita itu tergerak hati saya untuk merevieu ingatan saya tentang peristiwa Pemberontakan PKI yang terjadi di Kecamatan Sooko Kabupaten Tuban.
Keinginan saya merevieu ingatan tentang peristiwa itu juga bukan untuk membangkitkan dendam kesumat, tetapi lebih pada keinginan untuk tidak mengubur begitu saja kejadian-kejadian itu, yang pada akhirnya oleh mereka yang berkepentingan khusus hanya akan menjadi klaim sepihak tentang kebenaran pihak tertentu, dan melemahkan atau menyalahkan pihak yang lain.
Apa yang saya ungkapkan ini juga tidak dilengkapi dengan bukti-bukti riil. Sebagaimana saya katakan di depan, ini hanya revieu ingatan saya, yang kala itu masih bocah dan bersekolah di SD Negeri Soko. Di samping itu, pengungkapan ingatan itu tidak dapat saya sampaikan secara urut dan sekaligus.Karena itu, agar pembaca mudah memahami, remata yang saya ungkapkan itu akan saya beri subjudul pada masing-masing peristiwa.
1. PAK GURU DAN TUHAN
Peristiwa ini terjadi dan kualami ketika saya duduk di kelas I b SD Negeri Soko. Saat itu pengajarnya adalah Pak Sakur. Orangnya kurus, berkulit hitam dan berambut keriting. Sorot matanya tajam, dan suaranya lantang khas guru-guru kelas. Apalagi kalau beliau mengajak kami menyanyi. "Nasakom bersatu, singkirkan kepala batu..." Kami akan menyanyikan lagu itu dengan semangat sambil mengelilingi sekolah. Kami baru tahu apa itu "nasakom" setelah duduk di bangku SLTA. Ternyata itu doktrin politik perasan Pancasila menjadi Trisila, yaitu nasionalisme, agama, dan komunisme. Terakhit konon juga diperas lagi menjadi ekasila.
Saat itu, saya tidak ingat termasuk mata pelajaran apa yang diajarkan Pak Sakur. Pak Guru yang sering berperan sebagai "Cakil" dalam pagelaran wayang orang ini tiba-tiba berkata;
" Anak-anak, siapa yang memberi rejeki pada kita?"
" Gusti Allah, pak guru !", jawab kami serentak .
" Siapa ?"
"Gusti Allah, pak guru !"
" Sekarang semuanya memejamkan mata. Tengadahkan kedua tanganmu ke atas !" perintahnya kepada semua siswa. Setelah kami semua memejamkan mata dan menengadahkan tangan, beliaumenyuruh kami menirukan ucapannya.
" Gusti Allah, saya minta permen !", kata pak guru.
" Gusti Allah, saya minta permen !" para siswa serempak menirukannya.
" Sekarang, buka kedua matamu. Lihat, apakah di tanganmu ada permen?"
" Tidak, pak guru ", jawab kami serempak.
" Sekarang pejamkan mata lagi. Tengadahkan kedua tanganmu. ikuti ucapan saya. Pak guru, saya minta permen !".
" Pak guru, saya minta permen!"
Kami semua diam beberapa saat. Tidak ada suara. Tetapi pada kedua telapak tangan saya terasa ada sesuatu. Setelah beberapa saat suara pak guru terdengar lagi.
" Sekarang buka mata kalian. Apa yang ada di tanganmu ?"
" permen, pak guru," jawab siwa serempak. suasana pun menjadi agak gaduh. Ditangan kami ada permen bukur, sebutan untuk gula-gula yang dibentuk seperti kerang kecil. Beberapa di antara kami langsung memasukkan permen ke mulutnya.
" Jadi, siapa yang memberi permen kamu?" teriak pak Sakur.
" Pak guru."
( selanjutnya beberapa hari lagi)
2. GURUKU DICULIK
Pagi itu pelajaran berjalan seperti biasa. Semua siswa sudah masuk kelas, meskipun belum semua guru ada di kelas. Karena itu masih ada keributan di masing-masing kelas. Keributan itu semakin lengkap dengan bunyi gesekan benda keras di lantai tegel sekolah. Anak-anak biasa mengasah grip. Grip adalah alat tulis terbuat dari tanah liat yang sudah dikeringkan. Sebelum digunakan untuk menulis di sabak atau batu tulis, grip diasah sampai runcing, seruncing pensil yang sudah diraut.
Oh, ya. Waktu itu siswa-siswa di SD belum banyak memiliki buku tulis. Yang mereka gunakan adalah sabak, dan alat tulisnya berupa grip. Sabak biasa juga disebut dengan "batu tulis", meskipun tidak semua sabak terbuat dari batu. Banyak sabak yang dibuat dari kayu dengan permukaan warna hitam seperti papan tulis (blackboard). Sabak yang terbuat dari batu sudah mulai jarang ada yang punya. Di samping terlalu berat bagi anak SD kelas I dan II, sabak dari batu rentan pecah.
Pagi itu guru yang mengajar di kelasku bernama Pak Sunotris. Orangnya bertubuh tinggi dengan rambut yang disisir rapi. Guru ini boleh dibilang pendiam, sampai-sampai suaranya tidak cukup jelas didengar semua siswa. Anak-anak sangat segan kepada beliau.
Ketika pelajaran baru berlangsung beberapa saat, Pak Tris tiba-tiba seperti orang kaget. Pak Tris tiba-tiba merunduk, sehingga kami tidak dapat melihatnya. Di luar, dari arah belakang kami terdengar "gedebuk-gedebuk" suara kaki orang banyak. Kami pun mengalihkan pandangan ke belakang. Dari kaca pintu dan jendela tampak bersliweran beberapa orang dewasa.
Sejak saat itu kami tidak pernah bertemu lagi dengan Pak Sunotris. Tidak ada penjelasan dari sekolah, dan kami anak-anak kecil juga tidak pernah menanyakan. Kata orang-orang tua yang sempat kami dengar di masjid mayat Pak Sunotris diketahui mengambang di Bengawan Solo.
3. PKI Malam
Entah mengapa, gerakan PKI yang ini disebut PKI Malam. Mungkin karena gerakannya dilakukan pada malam hari, saya tidak tahu pasti.
Pagi itu saya sudah sampai di pertigaan Sooko ke arah Mentoro untuk berangkat sekolah. Dari arah Mentoro ada serombongan orang berjalan kaki mengusung keranda. " Pak Petinggi Prambon dibunuh perampok", kata salah satu diantara mereka ketika ditanya seseorang. "Petinggi" adalah kepala desa. Berita perampokan itu beberapa hari kemudian hilang dari pergunjingan.
Hari-hari setelah perampokan pak kades Prambon, di rumah pak Carik dan Pak Kades Sooko banyak tentara yang menginap. Kadang-kadang mereka menggunakan sepeda motor pak Kades dan pak Carik yang masih baru merk Zundapp.
Beberapa hari kemudian, pada suatu malam kentong titir berbunyi bertalu-talu. Hiruk pikuk dan suasana mencekam mirip beberapa tahun yang lalu ketika katanya akan ada serangan udara dari Malaysia. Lampu-lampu rumah dimatikan. Bapak-bapak dengan senjata seadanya, waktu paling banyak membawa pedang, bergerombol di pos-pos keamanan, di pertigaan jalan, dan sebagainya.
Sementara itu, tentara-tentara berboncengan motor melaju ke arah utara. Ke Jegulo, kata mereka.
Pagi harinya kejadian malam itu diceritakan lengkap oleh orang-orang di warung. Pak kades Jegulo dirampok. Pak Kades selamat, demikian juga menantunya yang sempat melakukan perlawanan.
Tripika (= sekarang muspika) kecamatan Sooko hari-hari setelah itu sibuk melakukan rapat-rapat masa di tiap desa. Intinya, tripika minta warga yang mengetahui persembunyian pelaku perampokan segera melapor. Jika mengetahui tetapi tidak melapor akan dikenai hukuman berat.
Kegiatan rapat Tripika itu terakhir dilakukan di Desa Klumpit. Desa Klumpit berada di sebelah utara desa Prambon naik ke atas pegunungan kapur utara. Rapat dilaksanakan di depan rumah pak kades. Isinya sama dengan rapat di desa-desa lainnya.
Malam harinya, tentara-tentara di Sooko bergegas meluncur ke desa Klumpit. Infonya, Pak Kades Klumpit dirampok. Tentara terlibat baku tembak sengit di depan rumah pak kades Klumpit, sebelum kemudian kehilangan jejak para perampok.
Pagi harinya, evakuasi korban dilakukan. Pak Kades meninggal dengan luka tembakan. Yang mengejutkan, istri pak kades ditemukan selamat di atas talang dalam keadaan tanpa busana. Dari interogasi, diketahui bahwa bu kades menyelamatkan diri dengan memanjat rumah. Pada saat itu perampok berusaha menarik kainnya sampai lepas.
Dengan ditemukannya istri kades suasana desa Klumpit makin tegang. Tentara dibantu Banser dan Masyarakat. Berdasarkan keterangan bu kades, para perampok adalah militan PKI. Mereka sudah lama berada di desa Klumpit. Rupanya, saat rapat Tripika, mereka juga mendengar isi rapat. Mereka kuatir pak Kades buka mulut tentang tempat persembunyiannya. Karena itu pak kades dibunuh.
Militan PKI itu memiliki bunker persembunyian yang cukup rapi. Pintu masuknya ada di bawah ranjang pak kades, dan pintu daruratnya ada di semak-semak di luar rumah. Bunker itu dibuat dengan mengerahkan penduduk desa itu.
Tentara pun mengepung bunker itu. Dengan berbagai cara para perampok di dalamnya dipaksa keluar. Terjadilah perkelahian. Beberapa orang ditangkap tanpa luka. Yang lainnya menderita luka bacok dan tembak. Seingatku, siang harinya mereka digiring dalam keadaan tangan dan kaki terikat berjalan dari Klumpit ke Sooko. Yang luka-luka dimasukkan keranjang dalam posisi duduk dipikul orang lain.
Beberapa bulan kemudian, aku dan teman-teman siswa SDN Sooko diajak guru berwisata sejarah ke desa itu. Kami ditunjukkan buah-buah kelapa di depan rumah pak kades Klumpit yang penuh peluru bekas baku tembak. Kami pun diajak masuk ke bunker. Di dalamnya ada kamar tidur, ruang rapat, bahkan kamar kecil. Menariknya, ternyata bunker di rumah pak kades bukan satu-satunya. Masih ada bunker lain yang pintu masuknya di rumah seorang janda.
Keinginan saya merevieu ingatan tentang peristiwa itu juga bukan untuk membangkitkan dendam kesumat, tetapi lebih pada keinginan untuk tidak mengubur begitu saja kejadian-kejadian itu, yang pada akhirnya oleh mereka yang berkepentingan khusus hanya akan menjadi klaim sepihak tentang kebenaran pihak tertentu, dan melemahkan atau menyalahkan pihak yang lain.
Apa yang saya ungkapkan ini juga tidak dilengkapi dengan bukti-bukti riil. Sebagaimana saya katakan di depan, ini hanya revieu ingatan saya, yang kala itu masih bocah dan bersekolah di SD Negeri Soko. Di samping itu, pengungkapan ingatan itu tidak dapat saya sampaikan secara urut dan sekaligus.Karena itu, agar pembaca mudah memahami, remata yang saya ungkapkan itu akan saya beri subjudul pada masing-masing peristiwa.
1. PAK GURU DAN TUHAN
Peristiwa ini terjadi dan kualami ketika saya duduk di kelas I b SD Negeri Soko. Saat itu pengajarnya adalah Pak Sakur. Orangnya kurus, berkulit hitam dan berambut keriting. Sorot matanya tajam, dan suaranya lantang khas guru-guru kelas. Apalagi kalau beliau mengajak kami menyanyi. "Nasakom bersatu, singkirkan kepala batu..." Kami akan menyanyikan lagu itu dengan semangat sambil mengelilingi sekolah. Kami baru tahu apa itu "nasakom" setelah duduk di bangku SLTA. Ternyata itu doktrin politik perasan Pancasila menjadi Trisila, yaitu nasionalisme, agama, dan komunisme. Terakhit konon juga diperas lagi menjadi ekasila.
Saat itu, saya tidak ingat termasuk mata pelajaran apa yang diajarkan Pak Sakur. Pak Guru yang sering berperan sebagai "Cakil" dalam pagelaran wayang orang ini tiba-tiba berkata;
" Anak-anak, siapa yang memberi rejeki pada kita?"
" Gusti Allah, pak guru !", jawab kami serentak .
" Siapa ?"
"Gusti Allah, pak guru !"
" Sekarang semuanya memejamkan mata. Tengadahkan kedua tanganmu ke atas !" perintahnya kepada semua siswa. Setelah kami semua memejamkan mata dan menengadahkan tangan, beliaumenyuruh kami menirukan ucapannya.
" Gusti Allah, saya minta permen !", kata pak guru.
" Gusti Allah, saya minta permen !" para siswa serempak menirukannya.
" Sekarang, buka kedua matamu. Lihat, apakah di tanganmu ada permen?"
" Tidak, pak guru ", jawab kami serempak.
" Sekarang pejamkan mata lagi. Tengadahkan kedua tanganmu. ikuti ucapan saya. Pak guru, saya minta permen !".
" Pak guru, saya minta permen!"
Kami semua diam beberapa saat. Tidak ada suara. Tetapi pada kedua telapak tangan saya terasa ada sesuatu. Setelah beberapa saat suara pak guru terdengar lagi.
" Sekarang buka mata kalian. Apa yang ada di tanganmu ?"
" permen, pak guru," jawab siwa serempak. suasana pun menjadi agak gaduh. Ditangan kami ada permen bukur, sebutan untuk gula-gula yang dibentuk seperti kerang kecil. Beberapa di antara kami langsung memasukkan permen ke mulutnya.
" Jadi, siapa yang memberi permen kamu?" teriak pak Sakur.
" Pak guru."
( selanjutnya beberapa hari lagi)
2. GURUKU DICULIK
Pagi itu pelajaran berjalan seperti biasa. Semua siswa sudah masuk kelas, meskipun belum semua guru ada di kelas. Karena itu masih ada keributan di masing-masing kelas. Keributan itu semakin lengkap dengan bunyi gesekan benda keras di lantai tegel sekolah. Anak-anak biasa mengasah grip. Grip adalah alat tulis terbuat dari tanah liat yang sudah dikeringkan. Sebelum digunakan untuk menulis di sabak atau batu tulis, grip diasah sampai runcing, seruncing pensil yang sudah diraut.
Oh, ya. Waktu itu siswa-siswa di SD belum banyak memiliki buku tulis. Yang mereka gunakan adalah sabak, dan alat tulisnya berupa grip. Sabak biasa juga disebut dengan "batu tulis", meskipun tidak semua sabak terbuat dari batu. Banyak sabak yang dibuat dari kayu dengan permukaan warna hitam seperti papan tulis (blackboard). Sabak yang terbuat dari batu sudah mulai jarang ada yang punya. Di samping terlalu berat bagi anak SD kelas I dan II, sabak dari batu rentan pecah.
Pagi itu guru yang mengajar di kelasku bernama Pak Sunotris. Orangnya bertubuh tinggi dengan rambut yang disisir rapi. Guru ini boleh dibilang pendiam, sampai-sampai suaranya tidak cukup jelas didengar semua siswa. Anak-anak sangat segan kepada beliau.
Ketika pelajaran baru berlangsung beberapa saat, Pak Tris tiba-tiba seperti orang kaget. Pak Tris tiba-tiba merunduk, sehingga kami tidak dapat melihatnya. Di luar, dari arah belakang kami terdengar "gedebuk-gedebuk" suara kaki orang banyak. Kami pun mengalihkan pandangan ke belakang. Dari kaca pintu dan jendela tampak bersliweran beberapa orang dewasa.
Sejak saat itu kami tidak pernah bertemu lagi dengan Pak Sunotris. Tidak ada penjelasan dari sekolah, dan kami anak-anak kecil juga tidak pernah menanyakan. Kata orang-orang tua yang sempat kami dengar di masjid mayat Pak Sunotris diketahui mengambang di Bengawan Solo.
3. PKI Malam
Entah mengapa, gerakan PKI yang ini disebut PKI Malam. Mungkin karena gerakannya dilakukan pada malam hari, saya tidak tahu pasti.
Pagi itu saya sudah sampai di pertigaan Sooko ke arah Mentoro untuk berangkat sekolah. Dari arah Mentoro ada serombongan orang berjalan kaki mengusung keranda. " Pak Petinggi Prambon dibunuh perampok", kata salah satu diantara mereka ketika ditanya seseorang. "Petinggi" adalah kepala desa. Berita perampokan itu beberapa hari kemudian hilang dari pergunjingan.
Hari-hari setelah perampokan pak kades Prambon, di rumah pak Carik dan Pak Kades Sooko banyak tentara yang menginap. Kadang-kadang mereka menggunakan sepeda motor pak Kades dan pak Carik yang masih baru merk Zundapp.
Beberapa hari kemudian, pada suatu malam kentong titir berbunyi bertalu-talu. Hiruk pikuk dan suasana mencekam mirip beberapa tahun yang lalu ketika katanya akan ada serangan udara dari Malaysia. Lampu-lampu rumah dimatikan. Bapak-bapak dengan senjata seadanya, waktu paling banyak membawa pedang, bergerombol di pos-pos keamanan, di pertigaan jalan, dan sebagainya.
Sementara itu, tentara-tentara berboncengan motor melaju ke arah utara. Ke Jegulo, kata mereka.
Pagi harinya kejadian malam itu diceritakan lengkap oleh orang-orang di warung. Pak kades Jegulo dirampok. Pak Kades selamat, demikian juga menantunya yang sempat melakukan perlawanan.
Tripika (= sekarang muspika) kecamatan Sooko hari-hari setelah itu sibuk melakukan rapat-rapat masa di tiap desa. Intinya, tripika minta warga yang mengetahui persembunyian pelaku perampokan segera melapor. Jika mengetahui tetapi tidak melapor akan dikenai hukuman berat.
Kegiatan rapat Tripika itu terakhir dilakukan di Desa Klumpit. Desa Klumpit berada di sebelah utara desa Prambon naik ke atas pegunungan kapur utara. Rapat dilaksanakan di depan rumah pak kades. Isinya sama dengan rapat di desa-desa lainnya.
Malam harinya, tentara-tentara di Sooko bergegas meluncur ke desa Klumpit. Infonya, Pak Kades Klumpit dirampok. Tentara terlibat baku tembak sengit di depan rumah pak kades Klumpit, sebelum kemudian kehilangan jejak para perampok.
Pagi harinya, evakuasi korban dilakukan. Pak Kades meninggal dengan luka tembakan. Yang mengejutkan, istri pak kades ditemukan selamat di atas talang dalam keadaan tanpa busana. Dari interogasi, diketahui bahwa bu kades menyelamatkan diri dengan memanjat rumah. Pada saat itu perampok berusaha menarik kainnya sampai lepas.
Dengan ditemukannya istri kades suasana desa Klumpit makin tegang. Tentara dibantu Banser dan Masyarakat. Berdasarkan keterangan bu kades, para perampok adalah militan PKI. Mereka sudah lama berada di desa Klumpit. Rupanya, saat rapat Tripika, mereka juga mendengar isi rapat. Mereka kuatir pak Kades buka mulut tentang tempat persembunyiannya. Karena itu pak kades dibunuh.
Militan PKI itu memiliki bunker persembunyian yang cukup rapi. Pintu masuknya ada di bawah ranjang pak kades, dan pintu daruratnya ada di semak-semak di luar rumah. Bunker itu dibuat dengan mengerahkan penduduk desa itu.
Tentara pun mengepung bunker itu. Dengan berbagai cara para perampok di dalamnya dipaksa keluar. Terjadilah perkelahian. Beberapa orang ditangkap tanpa luka. Yang lainnya menderita luka bacok dan tembak. Seingatku, siang harinya mereka digiring dalam keadaan tangan dan kaki terikat berjalan dari Klumpit ke Sooko. Yang luka-luka dimasukkan keranjang dalam posisi duduk dipikul orang lain.
Beberapa bulan kemudian, aku dan teman-teman siswa SDN Sooko diajak guru berwisata sejarah ke desa itu. Kami ditunjukkan buah-buah kelapa di depan rumah pak kades Klumpit yang penuh peluru bekas baku tembak. Kami pun diajak masuk ke bunker. Di dalamnya ada kamar tidur, ruang rapat, bahkan kamar kecil. Menariknya, ternyata bunker di rumah pak kades bukan satu-satunya. Masih ada bunker lain yang pintu masuknya di rumah seorang janda.
Komentar
Posting Komentar