LAMONGAN DAN LEGENDA-LEGENDANYA

     Kabupaten Lamongan banyak memiliki legenda.  Ini sangat ditentukan oleh peran warga Lamongan di masa lalu dalam ikut serta membangun kejayaan bangsa Indonesia. Umumnya diawali dengan masa kejayaan Majapahit sampai dengan masa penyebaran Islam di pulau Jawa.
     Sebagaimana legenda-legenda daerah lainnya, legenda Lamongan juga disebarkan melalui tuturan (dari lisan ke lisan). Karena itu variasi cerita menjadi semakin banyak. Berbeda sekiranya legenda itu dibukukan. Namun sangat disayangkan, sampai saat ini belum ada upaya serius membukukan legenda-legenda itu. Sedangkan penutur legenda makin sedikit  karena usianya. Sangat wajar generasi muda Lamongan tidak lagi mengenal kisah kejayaan daerahnya.
     Sebagai sumbangsih pakdemin pada Lamongan, secara berturut-turut  akan kami sajikan legenda-legenda Lamongan di bawah ini. Tentu penulis  sangat berharap untuk memperoleh masukan guna meluruskan alur, penokohan, dan settingnya, karena dasar penulisan hanyalah  ingatan penulis tentang legenda yang pernah didengarnya.

PERAN LAMONGAN DI JAMAN MAJAPAHIT

      Siapapun yang terpelajar tahu, bahwa Majapahit adalah Indonesia masa lalu. Karena itu bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah merah putih. Bendera merah putih itu adalah bendera kerajaan Majapahit yang dahulu disebut "Sang Gula Kelapa". Gula  =  warna merah, sedangkan kelapa = warna putih.
      Pada masa jayanya, Majapahit diperintah oleh raja terkenal  "Hayam Wuruk". Sedangkan patihnya adalah "Gajah Mada". Pada masa itulah wilayah Majapahit  mencapai wilayah terluasnya, karena  kehebatan, kegagahan, dan kesaktian Patih Gajah Mada, yang juga dikenal dengan sumpah "PALAPA"nya.
      Peran besar, kesetiaan, dan kerja keras Patih Gajah Mada beserta bala tentaranya yang orang asli Lamongan (MODO ) itu melahirkan penghargaan dari raja Majapahit berupa hadiah wilayah otonom bagi warga Lamongan. Warga Lamongan dapat memerintah sendiri wilayahnya, serta dapat menyelenggarakan "jagal"sendiri. Jagal adalah usaha memotongan hewan, yang saat itu hanya boleh dilakukan bangsawan Majapahit.
       Warga Lamongan juga dikenal sangat setia menjaga dan mengamankan jalur evakuasi raja jika sewaktu-waktu Majapahit diserang musuh atau ada pemberontakan. Senopati  Majapahit saat itu yang sangat terkenal dengan kesaktiannya adalah Bupati Tuban Ronggolawe.   Karena itu raja harus diamankan ke Tuban jika terjadi huru-hara. Pintu masuk menuju ke Tuban tidak melalui darat, tetapi melalui terowongan panjang  yang pintunya ada di selatan kota Babat, yakni Goa Pucak Wangi.
        Pasukan/tentara  setia yang dipimpin Gajahmada umumnya adalah pemuda yang berasal dari daerah sekitar Modo, temasuk dua wilayah berdampinan nama antara Bojonegoro dan Lamongan yang dipisahkan Modo, yakni Kedungpring (Lamongan) dan Kedung Adem (Bojonegoro). Sampai saat ini dari wilayah-wilayah itu banyak melahirkan pemuda yang kemudian memilih profesi sebagai tentara atau polisi.
        Satu lagi yang penulis masih ingat adalah peran Lamongan sebagai  jalur logistik  Kerajaan Majapahit. Pada masa tertentu, tamu dan kebutuhan logistik kerajaan Majapahit didatangkan melalui Laut Jawa  masuk ke Bengawan Solo. Dari Bengawan Solo masuk ke Bengawan Jero, dan akhirnya kapal-kapal besar waktu itu bongkar muatan  di Pelabuhan Bedandangan, sekarang dikenal dengan Desa Dandangan kecamatan Deket.  Dari Dandangan barang-barang itu dipindahkan ke perahu-perahu kecil  dan berjalan melalui Kali Otik dan terakhir sampai di Rowo Lamong. 




RIWAYAT SINGKAT KABUPATEN LAMONGAN


Pada awal abad XVI, di sebuah desa yang terletak di tengah hutan, yang sekarang dikenal dengan Dusun Cancing, desa Sendangrejo Kecamatan Ngimbang ,  lahirlah seorang pemuda yang dipanggil dengan nama Hadi, dan yang kemudian kita kenal sebagai Mbah Lamong.

Pada usia remaja, Hadi  bertekat untuk  berkelana dengan meninggalkan desanya. Dia ingin mencari ilmu dan olah kepandaian. Bulat tekatnya untuk menuju wilayah bekas ibukota Kerajaan Majapahit.

Namun di tengah perjalanan, tepatnya di Desa Pamotan, yang sekarang berada di wilayah Kecamatan Sambeng, Hadi bertemu dengan pedagang-pedagang  dari Mapel yang menyusuri Kali Lamong yang bermuara di Segoro Madu. Mapel  sekarang disebut dengan   Gresik.

Dari Pedagang-pedagang itu, Hadi memperoleh informasi bahwa di Mapel ada seorang wali yang memiliki kesaktian luar biasa. Wali itu adalah Kanjeng Sunan Giri. Hadi  sangat kagum terhadap   kehebatan  Kanjeng Sunan Giri. Maka, dibatalkannya niat pergi ke Majapahit,  dan sebaliknya dibulatkanlah tekadnya untuk berguru kepada Kanjeng Sunan Giri.

Langkah demi langkah diayunkanlah  kaki Hadi menuju ke Mapel. Dan sesampainya di depan Kanjeng Sunan Giri, dengan tanpa kesulitan diterimalah Hadi sebagai santri .

Hadi adalah Santri yang cerdas. Tekatnya berguru yang kuat, menyebabkab Hadi cepat dapat menyerap  dan menguasai ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu lain yang diberikan oleh Sunan Giri, termasuk dalam ilmu pemerintahan.  Karena itu,  Hadi termasuk murid  kinasih Sunan Giri.

Alkisah, suatu  waktu, Kanjeng Sunan Giri ingin menyebarkan ajaran Islam  dan mengatur pemerintahan  di kawasan sebelah barat Kasunanan Giri. Kanjeng Sunan memerlukan  seseorang yang  dipercaya dan mumpuni untuk melakukan tugas itu. Maka, pilihannya jatuh kepada Hadi. Untuk  dapat melaksanakan tugas  dan kewenangannya dengan baik, maka Kanjeng Sunan Giri memberikan Gelar Ronggo kepada Hadi. Sejak itulah Hadi disebut dengan  nama Ronggo Hadi.

Hadi pun berangkat meninggalkan Kasunanan Giri menuju  wilayah yang sudah ditentukan oleh Sunan Giri. Diikuti oleh pembantu-pembantunya, Ronggo Hadi  menyusuri Kali Lamong, dan mendarat  di Pamotan. Dari tempat ini, Ronggo Hadi melanjutkan perjalanan darat sampai di Gondang, di Mantup,  dan akhirnya sampai di Kenduruan. Di tempat terakhir inilah Ronggo Hadi menjalankan tugas- tugasnya.

Kepandaian Ronggo Hadi  memimpin dan mengelola pemerintahan sangat dirasakan oleh  rakyatnya. Karena itu rakyat sangat mencintainya. Kepemimpinannya yang luwes dan sangat dekat dengan rakyat,  menjadikan rakyat sangat segan kepadanya.

Rakyat  beranggapan, Ronggo Hadi sangat pandai Ngemong  rakyat. Itulah sebabnya, kemudian rakyat memberikan sebutan kepadanya Kyai Lamong, atau Mbah Lamong.
Kata “lamong”  diambil dari Bahasa jawa Kuno “La” yang berarti  “baik” atau “pandai”, dan  kata “among”  yang berarti “ngemong” atau “momong”.  Sehingga  kata “ lamong” berarti  “ pandai ngemong” atau “pamong yang baik”. Sebutan “Mbah Lamong” inilah yang kemudian lebih populer daripada RONGGO HADI.

Namun demikian, kedua nama itu kemudian abadi menjadi nama wilayah sampai sekarang. Sebagaimana  proses pembentukan kata-kata benda (tempat) dalam bahasa Jawa yang selalu dibubuhkan imbuhan ka-an atau akhiran –an, maka ketika Hadi menjalankan pemerintahan dengan gelar atau pangkat Ronggo, maka tempat ronggo disebut “karonggoan”, dan kemudian mengalami asimilasi ucapan menjadi “Kranggan”. Contoh lain pembentukan kata seperti itu misalnya juga pada kata “ putra” – menjadi “kaputraan”, dan selanjutnya disebut “ “keputran”.  Kata “ satria” menjadi “kasatriaan” , kemudian menjadi “kasatrian” dan “kesatrian”. Demikian juga ketika Ronggohadi  disebut Mbah Lamong, ketika sudah menjadi pemimpin, guru, pamong yang dihormati dan disegani rakyat. Tempat dimana mbah Lamong bermukim kemudian disebut “Lamongan”, seperti halnya kata lainnya, tempat “demang” berada disebut “Demangan”.

Berdasarkan catatan sejarah, wilayah kekuasaan Sunan Giri  pada saat Kerajaan Demak mencakup wilayah Kranggan –Lamongan. Pada pertengahan abad ke XVI Masehi, Demak dilanda perang saudara. Ario Penangsang  di satu sisi, akhirnya terbunuh,  dan kemenangan ada ditangan Hadi Wijaya, yang nama kecilnya adalah “Mas Karebet” atau Joko Tingkir.

Hadi Wijaya kemudian memimpin pemerintahan dengan gelar “Sultan Hadi Wijaya”, dan memindahkan pusat pemerintahannya ke Pajang. Maka Sultan Hadiwijaya dikenal dengan sebutan “Sultan Pajang”

Pemindahan  pemerintahan dari Demak ke Pajang menimbulkan kerawanan keamanan kerajaan. Bangsa-bangsa Eropa, terutama Spanyol dan Portugis yang saat itu mulai melakukan invasi dan penjajahan tidak mendapatkan perlawanan yang berarti. Kekuatan maritim Pajang sangat lemah. Sementara Portugis dan Spanyol menguasai lautan.

Sunan Giri melihat itu sebagai ancaman yang sangat serius bagi wilayah  pantai utara Jawa Timur. Sunan Giri tidak ingin Pelabuhan Mapel (Gresik) dan Pelabuhan Kambang Putih (Tuban) dikuasai oleh penjajah.Apalagi jika sampai bangsa Eropa memasuki  perairan Bengawan Solo, pasti kekuatan Kasunanan Giri  dapat dilumpuhkan.

Berdasarkan ancaman-ancaman kedaulatan itu, maka Sunan Giri IV, yang dikenal dengan Sunan Prapen memutuskan untuk meningkatkan status “ Keronggoan Lamongan” menjadi “Kadipaten”. Dengan status itu diharapkan Lamongan dapat melakukan perlawanan untuk membela diri jika sewaktu-waktu diserang penjajah Eropa, mengingat  Kasultanan Pajang  sangat lemah dan tidak memiliki kekuatan maritim.

Tepat tanggal 10 Zulhijjah Tahun 976 H. Atau tanggal 26 Mei tahun 1569 M, Ronggohadi, atau Mbah Lamong,  diwisuda oleh Sunan Giri sebagai Adipati Lamongan yang pertama dengan gelar “Tumenggung Surajaya”. Tanggal itulah yang kemudian kita tetapkan sebagai Hari Jadi Lamongan.

Tumenggung  Surajaya wafat pada tahun 1529 Saka, atau tahun 1607 Masehi. Beliau dimakamkan di wilayah kekuasaannya sebagai Tumenggung, sehingga wilayah itu disebut dengan nama Tumenggungan, dan yang sekarang menjadi Kelurahan Tumenggungan.

Makam Mbah Lamong  sampai saat itu selalu diziarahi,  dan menjadi bagian dari  acara upacara Hari Jadi Lamongan.
DIRGAHAYU KABUPATEN LAMONGAN



( maaf, sampai di sini dulu, besok disambung dengan cerita-cerita legendanya.)

Komentar