"Tiga Puluh September". Pada masa Orde Baru selalu menjadi hari yang membuat bangsa Indonesia prihatin. Di dalam keprihatinan itu selalu terbersit doa, semoga peristiwa serupa tak pernah terjadi lagi di bumi pertiwi ini. Demikianlah, maka pada tanggal tersebut semua kantor, rumah tangga memasang bendera Merah Putih setengah tiang. Esoknya bendera setengah tiang itu digerek ke atas menjadi setiang penuh, Hari Kesaktian Pancasila.
Setelah Orde Baru digantikan dengan reformasi, hampir-hampir tidak muncul lagi peringatan itu. Tenggelam oleh hiruk pikuknya kebebasan berbicara, berubah menjadi hujatan, perdebatan, dan sebagainya. Maka muncul pula tema-tema perdebatan : "G30S/PKI tidak pernah ada", "Orde Baru Memanipulasi Sejarah", dan sebagainya. Di lingkungan politisi muncul gagasan, desakan agar dihapuskannya tak MPR tentang larangan PKI. Maka munculnya pro dan kontra. Mereka yang tidak setuju penghapusan mewacanakan PKI akan bangkit lagi. Dan yang setuju mulai berterus terang menunjukkan eksistensinya dengan berjaket HAM. Mereka menuntut investigasi korban G30S PKI.
Bagi penulis tidak ada yang lebih penting ialah rekonsiliasi tanpa syarat. Keluarga PKI tidak lagi mendengungkan ke-PKI-annya, dan pihak yang lain merangkulnya sebagai bagian dari bangsa yang besar dengan kemaafannya. Tidak ada yang bisa menentukan kebenaran hakiki dari kisah pilu itu. Apalagi kebenaran dalam keyakinan masing-masing.
Penulis yang pada masa itu berusia 10-an tahun mengenang peristiwa itu sebagai rasa syukur karena keluarga penulis terhindar dari petaka masa itu. Ayah penulis yang sehari-hari sebagai guru mengaji juga sempat menjadi buron polisi. Yang masuk dalam memori penulis, polisi itu representasi dari orang-orang PKI. Mengapa ?
Saat itu, entah tahun tepatnya, di Kecamatan Sooko Tuban diadakan pertandingan sepak bola dalam rangka memeringati Kemerdekaan RI. Kesebelasan pesertanya adalah Pemuda Ansor, Pemuda Marhein, dan Pemuda Rakyat. Pertandingan sepak bola segitiga ini berakhir dengan patah kaki beberapa pemain, terutama dari Pemuda Rakyat. Sedangkan dari Pemuda Ansor tak satu pun celaka.
Sore pertandingan berakhir, malam harinya semua pemain dan official Pemuda Ansor ditangkap polisi. Tengah malam, polisi pun menyatroni rumah orang tuaku. Mereka hendak menangkap ayahku, karena sebagian pemain Pemuda Ansor adalah murid-murid ayahku.
Aku kecil tidak mengerti sama sekali mengapa polisi hendak menangkap ayahku. Untungnya saat itu ayah sedang bepergian ke gunung. (besok lagi, ya...)
Setelah Orde Baru digantikan dengan reformasi, hampir-hampir tidak muncul lagi peringatan itu. Tenggelam oleh hiruk pikuknya kebebasan berbicara, berubah menjadi hujatan, perdebatan, dan sebagainya. Maka muncul pula tema-tema perdebatan : "G30S/PKI tidak pernah ada", "Orde Baru Memanipulasi Sejarah", dan sebagainya. Di lingkungan politisi muncul gagasan, desakan agar dihapuskannya tak MPR tentang larangan PKI. Maka munculnya pro dan kontra. Mereka yang tidak setuju penghapusan mewacanakan PKI akan bangkit lagi. Dan yang setuju mulai berterus terang menunjukkan eksistensinya dengan berjaket HAM. Mereka menuntut investigasi korban G30S PKI.
Bagi penulis tidak ada yang lebih penting ialah rekonsiliasi tanpa syarat. Keluarga PKI tidak lagi mendengungkan ke-PKI-annya, dan pihak yang lain merangkulnya sebagai bagian dari bangsa yang besar dengan kemaafannya. Tidak ada yang bisa menentukan kebenaran hakiki dari kisah pilu itu. Apalagi kebenaran dalam keyakinan masing-masing.
Penulis yang pada masa itu berusia 10-an tahun mengenang peristiwa itu sebagai rasa syukur karena keluarga penulis terhindar dari petaka masa itu. Ayah penulis yang sehari-hari sebagai guru mengaji juga sempat menjadi buron polisi. Yang masuk dalam memori penulis, polisi itu representasi dari orang-orang PKI. Mengapa ?
Saat itu, entah tahun tepatnya, di Kecamatan Sooko Tuban diadakan pertandingan sepak bola dalam rangka memeringati Kemerdekaan RI. Kesebelasan pesertanya adalah Pemuda Ansor, Pemuda Marhein, dan Pemuda Rakyat. Pertandingan sepak bola segitiga ini berakhir dengan patah kaki beberapa pemain, terutama dari Pemuda Rakyat. Sedangkan dari Pemuda Ansor tak satu pun celaka.
Sore pertandingan berakhir, malam harinya semua pemain dan official Pemuda Ansor ditangkap polisi. Tengah malam, polisi pun menyatroni rumah orang tuaku. Mereka hendak menangkap ayahku, karena sebagian pemain Pemuda Ansor adalah murid-murid ayahku.
Aku kecil tidak mengerti sama sekali mengapa polisi hendak menangkap ayahku. Untungnya saat itu ayah sedang bepergian ke gunung. (besok lagi, ya...)
Komentar
Posting Komentar